Mereka Senyata-nyatanya Musik Indie Indonesia | Roda-Roda Nada (2022)

Terlihat satu kelompok pengamen gerobak dangdut tampil di pinggir jalan Jakarta. Vokal, gitar, perkusi, tamborin, semua lengkap. Volume pun diset cukup tinggi. Namun, di tengah bising kemacetan ibu kota atau suara laju kereta, nada-nada itu acapkali tenggelam.

Bayusta, itulah nama grup yang dipimpin oleh Ubay. Di usia kepala lima, sudah puluhan tahun dirinya bermusik di jalan. Sang istri, Iyus, menempati posisi vokalis. Beberapa rekan masih bertahan, tapi ada pula yang karirnya makin moncer dan bergabung bersama Soneta, milik Rhoma Irama.


"Dia nggak berkembang," kata Ubay mengomentari kemampuan sang gitaris yang masih bertahan dalam grupnya. Ubay mencintai profesinya. Baginya, grup dangdut keliling yang kini nyaris punah, turut berkontribusi menyebarkan dangdut di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Kendati demikian, bukan berarti ia mau begitu-begitu saja. Ubay ingin berkembang. Di situlah terpikir ide untuk merekam album.


Setelah Balada Bala Sinema (2017) dan Nyanyian Akar Rumput (2018), Yuda Kurniawan kembali menghadirkan dokumenter yang memberi ruang untuk kaum pinggiran agar suara mereka lebih terdengar. Namun, Yuda tidak pernah mengeksploitasi. Baginya, kemiskinan (atau bentuk penderitaan apa pun) bukan hal seksi yang bisa diperah demi rekognisi pribadi. Itu pula alasan Yuda (menurut saya) nampaknya menghapus momen pertengkaran Ubay dan Iyus, walau berujung mengurangi dinamika film. Sinema tidak lebih berharga daripada manusia.



Selama proses merencanakan album, banyak obrolan terjadi di kediaman Ubay. Rumah yang sangat sederhana, bahkan temboknya telah menghitam. Apakah Yuda menjadikan detail tersebut sorotan utama? Tidak. Begitu pun saat grup Bayusta memulai proses rekaman di atas studio ala kadarnya milik Didit. Sebatas ruang kecil dengan peralatan seadanya, termasuk komputer Pentium 4. Kemiskinan sebatas latar. Fokusnya adalah bagaimana di antara keterbatasan mereka, subjeknya menolak berkecil hati.


Mereka memang tidak perlu berkecil hati. Ubay dan kawan-kawan mungkin bukan orang yang betul-betul melek perihal industri. Meraih ketenaran lewat ajang pencarian bakat dianggap lebih penuh perjuangan ketimbang yang "langsung" masuk dapur rekaman. Namun, mengenai passion terhadap musik, mereka boleh diadu. Poin terbaik Roda-Roda Nada selalu muncul kala manusianya berinteraksi membicarakan musik. Para anggota Bayusta adalah subjek yang menarik, sebab obrolan mereka tentang musik cenderung bersifat aplikatif ketimbang teoritis. Saya tidak disuguhi perspektif ideal atau bahasan textbook yang membosankan, melainkan realita.


Sayangnya, Roda-Roda Nada agak bermasalah dalam hal dinamika. Yuda adalah pecinta dangdut klasik. Ini alasannya tertarik membawa kisah Bayusta ke layar lebar. Selain mempromosikan karya grup dangdut keliling, Yuda pun ingin menuangkan kecintaannya. Namun, kecintaan itu seringkali membuat filmnya bak lupa diri, terhanyut dalam lantunan nada, lebih banyak mengisi penceritaan melalui rangkaian montage aksi panggung musisi dangdut daripada individu.



Cara Yuda menghadirkan dampak emosi juga tidak selalu sukses. Momen saat Bayusta akhirnya merampungkan album lebih tampak seperti kepalsuan yang dibuat-buat ketimbang realita menggugah. Justru deretan pemandangan sederhana miliknya jauh lebih menyentuh. Misal, sewaktu karakternya mendorong gerobak di jalan menanjak, mereka kelelahan sampai ada yang rehat sejenak akibat kehabisan napas, tapi mereka terus tersenyum dan menjadikan keletihan itu sebagai cara bersenda gurau.


Roda-Roda Nada mungkin bukan karya terbaik Yuda, tapi filmnya meraih pencapaian yang tidak kalah (atau malah lebih) penting dibanding menjadi "mahakarya sinema". Di tengah kebisingan ibu kota, ia menjaga agar nada-nada musisi jalanan tidak tenggelam dan terus berputar, bergulir seiring perkembangan zaman. 


(Aini Tartinia)

Kredit gambar: Forum Film Dokumenter dan Rekam Films

Comments

Popular posts from this blog

Tak Ada yang Salah menjadi Mas-Mas Biasa | The Banshees of Inisherin (2022)

Seperti Membaca Novel Pendek di Akhir Pekan | The Wonderful Story of Henry Sugar (2023)