Tanpa Mimpi Tiada Film | Layar (2023)

Selama tiga tahun pandemi Covid-19, industri bioskop terpuruk. Tak terkecuali bioskop lokal dengan harga yang merakyat. Cerita tentang bioskop rakyat dan problemanya ini disampaikan dalam film Layar.

Marni terpaksa pulang kampung pascabioskop tempatnya bekerja, Merapi Theatre, ditutup. Padahal ia sangat gembira ketika diterima bekerja di sana. Marni sangat mencintai film, cinta yang diwariskan oleh ayahnya yang juga seorang sinefil.

Ia lalu mengumpulkan rekan-rekan eks pekerja Merapi Theatre. Mereka akan terus berkegiatan di bioskop meski tanpa upah sampai suatu ketika bioskop mereka dapat kembali beroperasi. Namun, biaya operasional rupanya sangat besar. Bangunan bioskop pun terancam dijual.



Kritik Sosial Lewat Layar

Film Layar yang dibesut oleh Ifa Isfansyah (Sang Penari, Losmen Bu Broto) selintas ringan dan sederhana. Namun, sebenarnya film berdurasi 70 menit ini memiliki kritik sosial, terutama di dunia perfilman nasional. Saat ini industri bioskop didominasi oleh para pemain besar. Hanya sedikit bioskop lokal yang bertahan, apalagi yang tiketnya murah dan menjangkau semua kalangan. Dalam film ini, harga tiket di Merapi Theatre dibanderol Rp12 ribu, para pelanggan datang dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan menengah ke bawah.



Dengan tiket yang murah, mereka tentunya susah payah untuk bernapas. Fasilitas bioskop yang minimal, peralatan memutar sudah usang, jumlah studio juga terbatas. Mereka tidak punya biaya untuk renovasi. Namun, sebenarnya bagi sebagian kalangan, fasilitas itu kurang penting. Oleh karena ada yang beralasan bioskop adalah tempat pertemuan dan ruang yang membuka lebar untuk berdiskusi.


Dalam film ini, meskipun bioskop mereka itu kecil, rupanya tak sedikit warga yang bergantung ke mereka sebagai mata pencaharian. Ada tukang becak, penjual jajanan, satpam, hingga tukang parkir. Rupanya ada efek domino ketika sebuah bioskop tutup.


Ifa sebagai pekerja film menyampaikan kegelisahannya lewat Layar. Dalam industri perfilman terdapat empat pilar, yaitu filmmaker, pengulas film, dan pemerintah. Baginya bioskop rakyat adalah solusi untuk menjangkau penonton yang lebih luas dan beragam. Untuk sebagian kalangan, menonton film di bioskop adalah kemewahan. Oleh karenanya dengan keberadaan bioskop rakyat, maka kalangan menengah ke bawah bisa merasakan pengalaman sinematik dengan harga terjangkau.


Usia film dengan adanya bioskop rakyat juga lebih lama. Jika diperhatikan, saat ini banyak rumah produksi yang berebut layar, melakukan promosi berbagai cara agar film mereka bisa cukup lama bertahan tayang di bioskop. Terkadang ada cerita film-film yang bernasib malang, hanya tayang beberapa hari, bahkan ada yang hanya mampu bertahan tayang selama sehari.


Nah, dengan bioskop rakyat, film-film yang sudah turun layar dari bioskop konvensional bisa diputar di sana. Dengan demikian usia film bisa lebih panjang dan menjangkau penonton yang lebih banyak.

Meskipun pesan dan kritik sosial lewat film ini memang kental, sayangnya dialog dan solusi cerita kurang mengalir. Beberapa adegan dan penyelesaian film terkesan dipaksakan.


Saya menonton Layar di program "Puspa Ragam Sinema Indonesia" yang digagas Kineforum. Namun, film ini bisa juga dinikmati di KlikFilm mulai 13 Januari lalu. Para pemeran di antaranya Pritt Timothy, Adi Marsono, Resti Praditaningtyas, dan Siti Fauziah. Bagi yang penasaran dengan akting dari Siti Fauziah yang melejit lewat peran "Bu Tejo" di Tilikmaka lewat film ini penonton bisa lihat performa aktingnya sebagai Marni.


-ditulis oleh Aini Tartinia-

(Kredit gambar: KlikFilm)

Comments

Popular posts from this blog

Tak Ada yang Salah menjadi Mas-Mas Biasa | The Banshees of Inisherin (2022)

Seperti Membaca Novel Pendek di Akhir Pekan | The Wonderful Story of Henry Sugar (2023)